Tuesday, March 28, 2017

China Bangun Hanggar dan Radar di Laut China Selatan, Untuk Apa?

Liputan6.com, Beijing - Puluhan hanggar pesawat dan radar berkemampuan tinggi terlihat di pulau buatan milik Tiongkok di Laut China Selatan. Fasilitas yang diperkirakan akan segera beroperasi itu terlihat melaui citra satelit yang dirilis oleh wadah pemikir atau think tank asal Amerika Serikat, Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI).
Gambar yang diambil pada awal Maret tersebut, memperlihatkan infrastruktur pertahanan yang hampir jadi di tiga pulau buatan China di gugus Spratly yang disengketakan, yakni Fiery Cross, Mischief dan Subi.

Setiap pulau tersebut memiliki hanggar baru yang dapat menampung 24 pesawat militer. Sejumlah hanggar berukuran lebih besar yang dapat menampung pesawat bomber dan mata-mata juga terlihat dalam citra satelit.
Meski penyelesaian fasilitas tersebut pada awal 2017 telah diperkirakan, namun hingga kini belum diketahui apa yang akan dilakukan China dengan infrastruktur tersebut.
"Anda tak mungkin membangun fasilitas semacam itu dan tak menggunakannya," ujar Ian Storey dari Institute of Southeast Asian Studies Yusof Ishak Institute, seperti dikutip dari CNN (29/3/2017).
Menurut penuturan ahli, fasilitas baru tersebut membuat China terus membangun dominasi militernya di wilayah yang sedang mengalami sengketa.
Hal itu juga dapat membantu Tiongkok untuk membangun Air Defense Identification Zone yang kontroversial di area tersebut.
Juru bicara Kementerian Hubungan Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan, ia tak mengetahui rincian laporan tersebut. Namun ia mengegaskan bahwa Kepulauan Spartly merupakan wilayah milik Tiongkok.
"Apakah kita memutuskan untuk mengerahkan atau tak mengerahkan peralatan militer yang relevan, (fasilitas) itu berada di kawasan kedaulatan kami. Ini adalah hak kami untuk membela dan mempertahankan diri seperti yang diakui hukum internasional," ujar Hua Chunying.


Pembangunan Hanggar dan Radar Hampir Selesai

Fiery Cross, Mischief dan Subi merupakan tujuh pulau buatan yang dibangun China di gugusan Spratly. Negara itu mengklaim bahwa sebagian besar Laut China Selatan masuk ke dalam wilayahnya, meski terdapat klaim tumpang tindih oleh sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina dan Vietnam.
Menurut AMTI, empat hanggar yang lebih besar telah selesai dibangun di Subi dan empat lainnya di Fiery Cross. Sementara itu sejumlah hanggar lain di Mischief yang dapat menampung lima pesawat yang lebih besar, seperti bomber, pembangunannya berada di tahap akhir.
"Tiga pangkalan militer China di Spratly dan di Pulau Woody di Paracels, membuat pesawat militer China dapat beroperasi di hampir seluruh Laut China Selatan," ujar AMTI dalam sebuah pernyataan.
Selain hanggar, pembangunan kubah radar di setiap pulau juga terlihat pada citra satelit. Menurut AMTI, Fiery Cross, Subi, dan Mischief saat ini juga memiliki penampungan peluncur rudal yang didesain dapat bergerak.
Meski infrastruktur tersebut hampur selesai, namun belum ada pesawat militer yang telah dikerahkan di pulau tersebut.
Menurut analis kemaanan regional dan profesor emeritus di University of New South Wales, Carl Thayer, China akan mengerahkan pesawatnya berangsur-angsur untuk mengukur respons negara sekitar area laut yang disengketakan, juga AS.
Ketegangan di Laut China Selatan secara umum telah menyusut dalam sembilan bulan terakhir. Menurut Storey, hal itu terjadi sejak Presiden Rodrigo Duterte menjabat sebagai presiden dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan China.
"Jika China mengerahkan pesawat, akan ada protes dari sejumlah negara, khususnya Vietnam. Akan ada keluhan dari sejumlah anggota ASEAN. Lalu, selama periode waktu, ini akan menjadi normal," ujar Storey.

Monday, March 27, 2017

Pria Vietnam Meninggal di Pusat Tahanan Imigrasi Jepang

berita unik

Pria Vietnam Meninggal di Pusat Tahanan Imigrasi Jepang
Seorang pria Vietnam meninggal di dalam tahanan pusat imigrasi Jepang. Foto/Ilustrasi
TOKYO - Seorang pria asal Vietnam yang ditahan di sebuah pusat tahanan imigrasi Jepang meninggal. Kejadian ini pun menarik perhatian terkait kondisi di dalam sistem tahanan negara.

Pria itu meninggal di Pusat Imigrasi Jepang Timur di prefektur Ibaraki, timur laut Tokyo. Demikian laporan aktivis, pengacara dan seorang tahanan di fasilitas tersebut. Sebelumnya, pada tahun 2014, dua orang tewas di fasilitas yang sama seperti dikutip dari Reuters, Minggu (26/3/2017).

Pria Vietnam yang meninggal itu bernama Van Huan Nguyen. Ia adalah salah satu dari lebih dari 11 ribu pengungsi yang tinggal di negara itu lebih dari tiga dekade hingga 2005 pasca Perang Vietnam, menurut dua sumber. Tidak jelas berapa lama ia telah ditahan atau mengapa ia ditahan.

Nguyen tidak memiliki kerabat di Jepang tapi punya banyak teman, kata salah satu sumber yang mengenalnya. "Dia orang yang riang, orang yang menyenangkan. Aku tidak percaya ia meninggal," katanya.

Harian Sankei melaporkan Pusat Imigrasi Jepang Timur mengatakan penjaga telah menemukan seorang pria Vietnam berusia empat puluhan terbaring tak sadarkan diri di selnya sendiri awal pada hari Sabtu.

"Penjaga itu memanggil ambulans dan tahanan itu dikirim ke rumah sakit, di mana kematiannya dikonfirmasi sekitar satu jam setengah kemudian," Sankei mengutip pernyataan pusat imigrasi sembari menambahkan pihak berwenang akan melakukan otopsi dan menyelidiki penyebab kematian.

Pusat Imigrasi Jepang Timur dan Kementerian Kehakiman, yang mengawasi fasilitasi imigrasi, tidak bisa dihubungi untuk memberikan komentar.
g
n
a
t
a
D
t
a
m
a
l
e
S